peran keluarga atau orang tua dalam membentuk kepribadian anak

Peran kedua orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak.
Ayah dan ibu adalah teladan pertama bagi pembentukan pribadi anak. Keyakinan-keyakinan, pemikiran dan perilaku ayah dan ibu dengan sendirinya memiliki pengaruh yang sangat dalam terhadap pemikiran dan perilaku anak. Karena kepribadian manusia muncul berupa lukisan-lukisan pada  berbagai ragam situasi dan  kondisi dalam lingkungan keluarga.
Keluarga berperan sebagai faktor pelaksana dalam mewujudkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan persepsi budaya sebuah masyarakat. Ayah dan ibulah yang harus melaksanakan tugasnya di hadapan anaknya. Khususnya ibu yang harus memfokuskan dirinya dalam menjaga akhlak, jasmani dan kejiwaannya pada masa pra kehamilan sampai masa kehamilan dengan harapan Allah memberikan kepadanya anak yang sehat dan saleh.

Faktor-faktor ini (genetik dan lingkungan) secara terpisah atau dengan sendirinya tidak bisa menentukan pendidikan tanpa adanya yang lainnya, akan tetapi masing-masing saling memiliki andil dalam menentukan pendidikan dan kepribadian seseorang sehingga jika salah satunya tidak banyak dipergunakan maka yang lainnya harus dipertekankan  lebih keras.
Berdasarkan hadis Rasul saw yang mengatakan, “Anak adalah raja selama tujuh tahun pertama dan hamba pada tujuh tahun kedua serta teman musyawarah pada tujuh tahun ketiga”, menunjukkan bahwa masa kehidupan anak dibagi menjadi tiga masa. Orang tua harus tahu bahwa cara menghadapi anak harus berdasarkan ketiga masa ini. jika kedua orang tua menjalankan dengan baik metode-metode yang diberikan Islam  maka mereka nantinya bisa menyerahkan anak yang berkepribadian baik kepada masyarakat.
Betul, konteks kepribadian yang sudah didefinisikan pada pembahasan di atas  tidak ada kaitannya dengan kepribadian baik atau buruk, akan tetapi dalam tulisan ini penulis berusaha mengkaji kepribadian yang baik dan positif dalam  bingkai peran kedua orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak.
Kedua orang tua memiliki tugas di hadapan anaknya di mana mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya. Anak pada awal masa kehidupannya memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhinya. Dengan dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan mereka maka orang tua akan menghasilkan anak yang riang dan gembira. Untuk mewujudkan kepribadian pada anak, konsekuensinya kedua orang tua harus memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam al-Quran, begitu juga kedua orang tua harus memiliki pengetahuan berkaitan dengan masalah psikologi dan tahapan perubahan dan pertumbuhan manusia. Dengan demikian kedua orang tua dalam menghadapi anaknya baik dalam berpikir atau menghukumi mereka,  akan bersikap sesuai dengan tolok ukur yang sudah ditentukan dalam al-Quran.
Peran kedua orang tua dalam mewujudkan kepribadian anak antara lain:
1. Kedua orang tua harus mencintai dan menyayangi anak-anaknya. Ketika anak-anak mendapatkan cinta dan kasih sayang cukup dari kedua orang tuanya, maka pada saat mereka berada di luar rumah dan menghadapi masalah-masalah baru mereka akan bisa menghadapi dan menyelesaikannya dengan baik. Sebaliknya jika kedua orang tua terlalu ikut campur dalam urusan mereka atau mereka memaksakan anak-anaknya untuk menaati mereka, maka perilaku kedua orang tua yang demikian ini akan menjadi penghalang bagi kesempurnaan kepribadian mereka.ketenangan lingkungan rumah dan menyiapkan ketenangan jiwa anak-anak. Karena hal ini akan menyebabkan pertumbuhan potensi dan kreativitas akal anak-anak yang pada akhirnya keinginan dan Kemauan mereka menjadi kuat dan hendaknya mereka diberi hak pilih.
3. Saling menghormati antara kedua orang tua dan anak-anak. Hormat di sini bukan berarti bersikap sopan secara lahir akan tetapi selain ketegasan kedua orang tua, mereka harus memperhatikan keinginan dan permintaan alami dan fitri anak-anak. Saling menghormati artinya dengan mengurangi kritik dan pembicaraan negatif sekaitan dengan kepribadian dan perilaku mereka serta menciptakan iklim kasih sayang dan keakraban, dan pada waktu yang bersamaan kedua orang tua harus menjaga hak-hak hukum mereka yang terkait dengan diri mereka dan orang lain. Kedua orang tua harus bersikap tegas supaya mereka juga mau menghormati sesamanya.
4. Mewujudkan kepercayaan. Menghargai dan memberikan kepercayaan terhadap anak-anak berarti memberikan penghargaan dan kelayakan terhadap mereka, karena hal ini akan menjadikan mereka maju dan berusaha serta berani dalam bersikap. Kepercayaan anak-anak terhadap dirinya sendiri akan menyebabkan mereka mudah untuk menerima kekurangan dan kesalahan yang ada pada diri mereka. Mereka percaya diri dan yakin dengan kemampuannya sendiri. Dengan membantu orang lain mereka merasa keberadaannya bermanfaat dan penting.
5. Mengadakan perkumpulan dan rapat keluarga (kedua orang tua dan anak). Dengan melihat keingintahuan fitrah dan kebutuhan jiwa anak, mereka selalu ingin tahu tentang dirinya sendiri. Tugas kedua orang tua adalah memberikan informasi tentang susunan badan dan perubahan serta pertumbuhan anak-anaknya terhadap mereka. Selain itu kedua orang tua harus mengenalkan mereka tentang masalah keyakinan, akhlak dan hukum-hukum fikih serta kehidupan manusia. Jika kedua orang tua bukan sebagai tempat rujukan yang baik dan cukup bagi anak-anaknya maka anak-anak akan mencari contoh lain; baik atau baik dan hal ini akan menyiapkan sarana penyelewengan anak.
Dan yang paling penting adalah bahwa ayah dan ibu adalah satu-satunya teladan yang pertama bagi anak-anaknya dalam pembentukan kepribadian, begitu juga anak secara tidak sadar mereka akan terpengaruh, maka kedua orang tua di sini berperan sebagai teladan bagi mereka baik teladan pada tataran teoritis maupun praktis. Ayah dan ibu sebelum mereka mengajarkan nilai-nilai agama dan akhlak serta emosional  kepada anak-anaknya, pertama mereka sendiri harus mengamalkannya. Sebagaimana Nabi Muhammad saw sebagai teladan bagi umatnya, pertama beliau sebagai pelakunya. Allah swt dalam al-Quran berfirman, “Sesungguhnya ada pada kalian teladan yang baik  dalam diri Rasulullah saw.’Dalam ayat lain Allah swt berfirman, “Sesungguhnya ada pada kalian teladan yang baik dalam diri Nabi Ibrahim as dan orang-orang yang bersamanya”

Bagaimana pemerataan & kualitas pendidikan di Indonesia

PEMERATAAN AKSES PENDIDIKAN MASYARAKAT MISKIN SEBAGAI SOLUSI PEMBANGUNAN DI INDONESIA
PENGARUH PENDIDIKAN DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA
Pada era globalisasi peluang untuk memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dari suatu negara akan semakin besar jika didukung oleh SDM yang memiliki: (1) pengetahuan dan kemampuan dasar untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan dinamika pembangunan yang tengah berlangsung; (2) jenjang pendidikan yang semakin tinggi; (3) keterampilan keahlian yang berlatarbelakang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); dan (4) kemampuan untuk menghasilkan produk-produk yang, baik dari kualitas maupun harga, mampu bersaing dengan produk-produk lainnya di pasar global. Menurut McRay (1994), fenomena kemajuan ekonomi bangsa-bangsa di Asia Timur pada dasarnya merujuk pada faktor-faktor: (1) keluwesan untuk melakukan diversifikasi produk sesuai dengan tuntutan pasar; (2) kemampuan penguasaan teknologi cepat melalui reverse engineering (contoh: computer clone); (3) besarnya tabungan masyarakat; (4) mutu pendidikan yang baik; dan (5) etos kerja. Diantara faktor-faktor tersebut, pendidikan (faktor 4) adalah merupakan simpul atau katalisator yang menyebabkan faktor-faktor 1,2,3 dan 5 terjadi. Ilustrasi ini memberikan aksentuasi tentang betapa pembangunan pendidikan sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia (SDM) menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.
Pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial politik bagi pemerintah.
Memasuki abad ke-21, paradigma pembangunan yang merujuk knowledge-based economy tampak kian dominan. Paradigma ini menegaskan tiga hal. Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang. Sebagai ilustrasi, Jepang adalah negara Asia pertama yang menjadi pelopor pembangunan perekonomian berbasis ilmu pengetahuan. Setelah Jepang, menyusul negara-negara Asia Timur lain seperti Singapura, China, Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan.
PEMERATAAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Indonesia adalah negara berkembang yang masih mengalami berbagai proses pembangunan. Di sektor pendidikan, Indonesia masih kurang mengembangkan SDM yang dimiliki masyarakat. Buktinya, dalam sebuah survei mutu pendidikan, Indonesia menempati urutan ketiga dari bawah di antara 40 negara lain.
Sistem pendidikan di Indonesia selalu disesuaikan dengan kondisi politik dan birokrasi yang ada. Padahal menurut saya, itu bukanlah masalah utama dalam meningkatkan mutu pendidikan. Yang lebih penting adalah bagaimana pelaksanaan di lapangan, termasuk kurangnya pemerataan pendidikan, terutama di daerah tertinggal.
Dapat terlihat bahwa pemerataan pendidikan di Indonesia belum tercapai, seperti dapat terlihat pada tahun 1999 angkaa Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD mencapai 94,4%. Namun, APM untuk usia SLTP masih berkisar 54,8% dan SLTA 31,5%. Ketidakmerataan ini umumnya terjadi pada kelompok masyarakat pedesaan dan kelompok miskin. Pemerataan pendidikan masyarakat miskin di Indonesia dapat dibagi menjadi pemerataan pendidikan formal dan non-formal.
Pendidikan Formal
Masalah pemerataan pendidikan merupakan masalah di bidang pendidikan pada negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dari periode 2001/02 sampai 2005/06, angka partisipasi murni SD di Indonesia cukup bagus sebesar 94,20%. Untuk level pendidikan SMP, SMU dan Perguruan Tinggi terjadi ketidakmerataan pendidikan dengan angka partisipasi bersekolah yang kecil.
Jika melihat angka partisipasi murni untuk usia SMP tahun 2005/2006 (data dari Depdiknas) maka menunjukkan angka 62,06% yang berarti 37,94% yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan SMP. Itupun belum memperhitungkan jumlah anak yang putus sekolah, maka jumlah tersebut akan berkurang. APM sebesar 42,64% pada level SMU, menunjukkan lebih besarnya jumlah anak usia SMU yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke level SMU. Hal ini juga belum memperhitungkan anak putus sekolah di level pendidikan SMU.
Pendidikan Non-formal
Seperti halnya pendidikan formal, pendidikan non-formal pun mengalami permasalahan dalam hal pemerataan pendidikan.Sampai dengan tahun 2006, pendidikan non formal yang berfungsi baik sebagai transisi dari dunia sekolah ke dunia kerja (transition from school to work) maupun sebagai bentuk pendidikan sepanjang hayat belum dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat khususnya yang berusia dewasa untuk terus-menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya masih sangat rendah, apalagi pendidikan non formal yang pada umumnya membutuhkan biaya yang cukup mahal sehingga tidak dapat terangkau oleh masyarakat miskin.
FAKTOR PENGARUH PENDIDIKAN MASYARAKAT MISKIN RENDAH
Pemerataan pendidikan di Indonesia merupakan masalah yang sangat rumit. Ketidakmerataan pendidikan di Indonesia ini terjadi pada lapisan masyarakat miskin. Faktor yang mempengaruhi ketidakmerataan ini disebabkan oleh faktor finansial atau keuangan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin mahal biaya yang dikeluarkan oleh individu. Indonesia merupakan negara berkembang yang sebagian besar masyarakatnya hidup pada taraf yang tidak berkecukupan. Masyarakat menganggap bahwa banyak yang lebih penting daripada sekedar membuang-buang uang mereka untuk bersekolah. Selain itu, biaya pendidikan di Indonesia yang relatif mahal jika dibandingkan negara lain meskipun biaya di beberapa tingkat pendidikan telah dibebaskan.
Terlihat bahwa faktor biaya menjadikan pendidikan masyarakat miskin menjadi lebih rendah dibandingkan masyarakat kota. Akses tempat tinggal pun dapat menjadi faktor rendahnya pendidikan masyarakat miskin. Masyarakat miskin yang biasanya bertempat tinggal di desa-desa memiliki akses jalan yang sulit dijangkau. Sehingga pendidikan yang masuk ke dalam masyarakt miskinpun menjadi minim, padahal desa dapat membantu perekonomian menjadi lebih baik. Disini terlihat dari Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah namun Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memiliki pendidikan, sehingga SDA yang melimpah kurang dimanfaatkan sebaik mungkin. Tidak hanya ditekankan pendidikan formal saja untuk dapat mengelola SDA, bisa saja pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan pemerintah untuk warga miskin agar dapat memanfaatkan SDA sebaik mungkin sehingga dapat memajukan dan membangun perekonomian.
Fenomena yang ada di Indonesia cukup ironis. Banyaknya lulusan sekolah tingkat menengah dan perguruan tinggi setiap tahunnya, ternyata tidak sebanding dengan lowongan pekerjaan yang disediakan. Hal itu jelas menambah jumlah pengangguran di Indonesia. Bahkan angka pengangguran mencapai 9,5% per tahun. Untuk menuju pemerataan pendidikan yang efektif dan menyeluruh, kita perlu mengetahui beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi sektor pendidikan kita. Permasalahan itu antara lain mengenai keterbatasan daya tampung, kerusakan sarana prasarana, kurangnya tenaga pengajar, proses pembelajaran yang konvensional, dan keterbatasan anggaran. Hal inipun menjadi faktor pengaruh pendidikan masyarakat miskin menjadi rendah.
UPAYA PEMERINTAH MENANGGULANGI KETIDAKMERATAAN PENDIDIKAN
Merujuk UUD 1945 pasal 31 ayat 4, negara memiliki kewajiban untuk mengatasi rendahnya kemampuan sebagian masyarakat dalam membiayai pendidikan. Akan tetapi sayang, Namun UUD ’45 ternyata bukanlah landasan konstitusi yang dapat memaksa pemerintah untuk melaksanakan amanatnya. Pada kenyataannya, alokasi APBN pada bidang pendidikan masih saja pada bilangan yang sangat jauh dari ketentuan. Ironisnya biaya pendidikan semakin melambung tinggi tanpa mampu dikendalikan bahkan oleh pemerintah sekalipun. Tentu saja hal ini semakin memupuskan harapan rakyat miskin untuk mampu menjamah pendidikan yang layak dan berkualitas. Padahal pendidikan adalah hak mendasar dari setiap warganegara dalam rangka memperbaiki masa depan hidup generasi bangsa..
Dengan seiring berjalannya waktu, mengingat bahwa pendidikan itu sangat penting karena merupakan faktor yang menunjang kemajuan suatu negara, maka dewasa ini pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan tingkat pendidikan masyarakatnya, hal itu dapat dilihat sejak tahun 1984, Indonesia telah berupaya untuk memeratakan pendidikan formal Sekolah Dasar, kemudian dilanjutkan dengan Wajib Belajar Sembilan Tahun pada tahun 1994. Selain itu, pemerintah semakin intensif untuk memberikan bantuan berupa beasiswa, seperti Gerakan Orang Tua Asuh, Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Pengalihan alokasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah yang sebagian diperuntukkan bagi sektor pendidikan dan kesehatan mungkin bisa menjadi penghibur meski pada dasarnya, pendanaan sektor pendidikan seharusnya tidak mempersyaratkan naiknya harga BBM. Dari dana kompensasi bidang pendidikan direncanakan terdistribusi dalam bentuk beasiswa. Sekitar 9,6 juta anak kurang mampu usia sekolah menjadi sasaran dari program alokasi ini. Pada tahun 2003, setidaknya 1 dari 4 penduduk Indonesia termasuk miskin. Jika total penduduk Indonesia adalah sekitar 220 juta jiwa, maka berarti ada sekitar 60 juta jiwa saudara kita yang dalam kategori miskin. Artinya, apa yang sekarang sedang direncanakan pemerintah sangat mungkin belum dapat menjangkau semua rakyat miskin. Memang dibutuhkan cukup waktu untuk sampai ke situ. Yang jelas awal menuju ke arah itu telah dimulai. Dalam konteks ini sebaiknya dibuat suatu kriteria siapa-siapa saja yang urgen untuk mendapatkan bantuan, dan siapa saja yang bisa menunggu giliran berikutnya. Kriteria itu penting agar keputusan seleksi tidak sampai menimbulkan gejolak di masyarakat paling bawah. Oleh karena itu, proses seleksi seharusnya benar-benar dilakukan terbuka yang didasarkan oleh data lapangan yang seakurat mungkin. Terlebih, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap praktik distribusi anggaran yang dilakukan pemerintah sering berada di titik rendah.
Pemerataan pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang pembangunan Negara. Pemerataan pendidikan ini belum dilakukan secara merata terutama di kalangan masyarakat miskin. Pendidikan di Indonesia yang relatif mahal dan mayoritas penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan membuat pendidikan itu tidak merata dikalangan masyarakat miskin. Pemerintah telah melakukan upaya-upaya untuk menanggulangi ketidakmerataan pendidikan ini dengan cara Wajib Belajar Sembilan Tahun, pemberian beasiswa-beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu atau miskin, kemudian memberikan Bantuan Dana Operasional (BOS). Walaupun sudah diadakan sekolah gratis, Bantuan Dana Operasional (BOS), ataupun alokasi dana BBM, namun bantuan yang diberikan belum merata. Masih banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan apa yang meharusnya mereka dapatkan, padahal seluruh rakyat berhak mendapatkan pendidikan yang layak.